Apr 29, 2018

Banyak- banyak Puasa di Bulan Haram, Bulan Syaban

Banyak Berpuasa di Bulan Syaban
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc  July 22, 2009

Puasa Di Bulan Ruwah Amalan Bulan Syahban

Boleh Gak Sih Puasa Di Tanggal 1 Rowah Manfaat Puasa Syaban Puasa Syaban

Alhamdulillah, sebentar lagi kita akan menginjak tanggal 1 Sya’ban. Namun kadang kaum muslimin belum mengetahui amalan-amalan yang ada di bulan tersebut. Juga terkadang kaum muslimin melampaui batas dengan melakukan suatu amalan yang sebenarnya tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga dalam tulisan yang singkat ini, Allah memudahkan kami untuk membahas serba-serbi bulan Sya’ban. Dan kami di website ini, akan membagi tulisan ini menjadi beberapa bagian.

Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolong dan mudahkanlah kami).

Keutamaan Bulan Sya’ban

Dari Usamah bin Zaid, beliau berkata, “Katakanlah wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa selama sebulan dari bulan-bulannya selain di bulan Sya’ban”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits di atas terdapat dalil mengenai dianjurkannya melakukan amalan ketaatan di saat manusia lalai. Inilah amalan yang dicintai di sisi Allah.” (Lathoif Al Ma’arif, 235)

Banyak Berpuasa di Bulan Sya’ban

Terdapat suatu amalan yang dapat dilakukan di bulan ini yaitu amalan puasa. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berpuasa ketika bulan Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya selain puasa wajib di bulan Ramadhan.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)

Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)

Dari Ummu Salamah, beliau mengatakan,

أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلاَّ شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu sya’ban kullahu)?

Asy Syaukani mengatakan,  “Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan kita katakan bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu” (seluruhnya) di situ adalah kebanyakannya (mayoritasnya). Alasannya, sebagaimana dinukil oleh At Tirmidzi dari Ibnul Mubarrok. Beliau mengatakan bahwa boleh dalam bahasa Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu bulan dengan dikatakan berpuasa pada seluruh bulan.” (Nailul Author, 7/148). Jadi, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.

Lalu Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak puasa penuh di bulan Sya’ban?

An Nawawi rahimahullah menuturkan bahwa para ulama mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib. ”(Syarh Muslim, 4/161)

Di antara rahasia kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib). Sebagaimana shalat rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa Sya’ban. Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab, 233)

Hikmah di Balik Puasa Sya’ban

1. Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkalah manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa. Abu Sholeh mengatakan, “Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”

2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa setiap bulannya sebanyak tiga hari. Terkadang beliau menunda puasa tersebut hingga beliau mengumpulkannya pada bulan Sya’ban.  Jadi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki bulan Sya’ban sedangkan di bulan-bulan sebelumnya beliau tidak melakukan beberapa puasa sunnah, maka beliau mengqodho’nya ketika itu. Sehingga puasa sunnah beliau menjadi sempurna sebelum memasuki bulan Ramadhan berikutnya.

3.  Puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif,  hal. 234-243)

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kita mengikuti suri tauladan kita untuk memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Semoga dengan melakukan hal ini kita termasuk orang yang mendapat keutamaan yang disebutkan dalam hadits qudsi berikut.

وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506). Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab) akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya (terkabulnya) do’a. (Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad)

-bersambung ke pembahasan “Malam Nishfu Sya’ban“-

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com

Sumber : https://rumaysho.com/384-banyak-berpuasa-di-bulan-syaban.html

Apr 27, 2018

Rahasia Awal Kekayaan Ustman bin Affan RA

*Pelajaran Bisnis Ustman Bin Affan* Ustman bin Affan Ra adalah Khalifah III sepeninggal Nabi Muhammad Saw. Ustman bin Affan adalah seorang ahli property, pedagang dan ekonom. Beliau diangkat sebagai Khalifah oleh Majelis Syuro ketika itu. Bakat kepemimpinannya telah terlatih karena beliau berpengalaman memimpin usaha dagang dan ternak. Beliau juga seorang pengusaha besar waktu itu. Meskipun kaya raya, beliau hidup sangat sederhana dan dermawan, sehingga beliau dijuluki Bapak Zuhud.

Ingin tahu seberapa kaya raya dan sangat dermawannya Ustman?

Pada masa Khalifah Abuba Bakar Ra berkuasa, Kota Madinah dilanda kekeringan dan diambang bencana. Orang-orang mengadukannya kepada Khalifah. Jawaban Abu Bakar Ra, “Pergilah dan bersabarlah. Aku berharap sebelum tiba malam hari Allah Swt akan meringankan kesulitan kalian.”

Pada petang harinya, dari Negeri Syam ada sebuah kafilah dengan 1.000 unta mengangkut gandum, minyak dan kismis, yaitu kafilah Ustman. Tidak lama kemudian, para pedagang datang menemui Ustman dengan maksud ingin membeli barang-barang itu, tapi Ustman tidak menjuanya. Ustman berkata, “Aku menjadikan Allah sebagai saksi bahwa semua yang dibawa kafilah ini adalah sedekah karena Allah, untuk fakir miskin dari kaum muslimin.”

Saat itu juga, Ustman membag-bagiikan seluruh makanan yang dibawa unta-untanya kepada setiap fakir dan miskin. Mereka semua mendapat bagian yang cukup untuk keperluan keluarganya masing-masing dalam jangka waktu yang lama.

Kemudian ketika menghadapi Perang Tabuk dimana kaum muslimin memerlukan pendanaan yang luar biasa, Ustman kembali menunjukkan sifat mulianya. Beliau menyumbangkan sedikitnya 900 ekor unta lengkap dengan peralatan perangnya, 100 ekor kuda perang, 200 kantong emas dan uang tunai 1.000 dirham. Sungguh jumlah yang fantastis dan membuat Rasulullah Saw kagum sehingga berujar,“Sungguh tidak ada lagi yang akan membahayakan Ustman setelah hari ini.”

Warisan kekayaannya sungguh luar biasa. Aset yang dimiliki senilai 151.000 plus 1.000 dirham. Memiliki property sepanjang ‘Aris dan Khaibar. Juga memliki beberapa sumur oasis senilai 200.000 dinar atau Rp 240 milyar.

Ada pelajaran bisnis berharga, bagaimana Ustman mendapatkan kekayaan dari salah satu sumber keuangannya. Waktu itu, Kota Madinah dilanda paceklik sehingga kesulitan mendapatkan air bersih. Satu-satunya yang tersisa adalah sumur milik seorang Yahudi yang bernama sumur Raumah. Kaum muslimin dan penduduk Madinah harus antre dan membeli air bersih itu dari si Yahudi.

Nabi kemudian menghimbau agar ada dari kaum muslimin yang bisa membebaskan sumur itu dan menyumbangkannya untuk ummat agar mendapatkan surga Allah Swt.

Ustman bin Affan Ra tergerak hatinya dan menemui Yahudi pemilik sumur Raumah. Namun, meski Ustman memberikah penwaran harga tertinggi, si Yahudi tidak mau menjualnya. Dia bilang, “Seandainya sumur ini aku jual kepadamu wahai Ustman, maka aku tidak bisa mendapatkan penghasilan yang bisa aku peroleh setiap hari.”

 Karena ingin sekali mendapatkan pahala berupa surga Allah, Ustman tidak kehilangan akal mengatasi penolakan Yahudi itu. “Bagaimana kalau aku beli setengahnya saja dari sumurmu?”jurusnya dalam melancarkan negosiasi.

“Maksudmu?” tanya Yahudi keheranan.

 “ Begini, jika engkau setuju, kita memiliki sumur ini bergantian. Satu hari sumur ini milikku, esoknya kembali menjadi milikmu. Lusa menjadi milikku lagi. Begitu seterusnya berganti-ganti setiap hari. Bagaimana?” Jelas Ustman.

Yahudi itu pun berpikir cepat, “Aku mendapatkan uang besar dari Ustman tanpa kehilangan sumur milikku.” Akhirnya dia menerima tawaran Ustman.

Hari pertama itu disepakati sumur milik Ustman. Beliau mengumumkan kepada penduduk Madinah yang mau mengambil air di sumur Raumah. Mereka dipersilakan mengambil air secara gratis seraya mengingatkan agar mereka mengambil air dalam jumlah yang cukup untuk 2 hari karena esoknya sumur itu akan menjadi Yahudi lagi.

Keesokan harinya, si Yahudi mendapati sumur miliknya sepi pembeli karena penduduk masih memiliki persediaan air di rumah. Yahudi itupun mendatangi Ustman dan berkata, “Wahai Ustman belilah setengah lagi sumurku ini dengan harga sama seperti engkau membeli setengahnya kemarin.” Ustman setuju lalu dibelinya dengan harga 20.000 dirham. Maka sumur itupun menjadi milik Ustman sepenuhnya.

Ustman lalu mewakafkan sumur Raumah. Sejak itu, sumur Raumah bisa dimanfaatkan oleh siapa pun termasuk si Yahudi, pemilik lamanya.

Beberapa waktu kemudian, tumbuhlah pohon kurma disekitar sumur. Jumlahnya terus bertambah dan dipelihara oleh Bani Ustmaniyah. Lalu disusul pemeliharannya oleh pemerintah Saudi hingga berjumlah 1.550 pohon.

Selanjutnya, Departemen Pertanian Pemerintah Saudi menjual hasil kebun kurma ini ke pasar-pasar. Setengah dari keuntungan disalurkan untuk anak-anak yatim dan miskin. Setengahnya lagi disimpan dalam bentuk rekening di salah satu bank atas nama Ustman bin Affan sampai sekarang.

Waktu terus berjalan hingga uang di bank itu cukup untuk membeli sebidang tanah dan membangun hotel yang cukup besar di lokasi strategis dekat Masjid Nabawi. Bangunannya kini pada tahap penyelesaian dan akan dioperasikan sebagai Hotel Bintang 5. Diperkirakan omzetnya sekitar RS 50 juta per tahun. Setengah keuntungannya untuk anak yatim dan fakir miskin, dan setengahnya lagi kembali dimasukkan ke rekening Ustman di bank.

Hal ini benar-benar menjadi bukti bahwa kalau berdagang mengharap ridha Allah Swt akan selalu menguntungkan. Tidak akan pernah merugi. Ini salah satu bentuk sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir walaupun orangnya sudah lama meninggal.

Referensi, 10 Kunci Rezeki Ala Sahabat Rasulullah,Fauziah Rachmawati, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta 2015.

Pegertian Sholat dan Waktunya

🌍 BimbinganIslam.com
Sabtu, 19 Rabi’ul Akhir 1439 H / 06 Januari 2018 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 30 | Pengertian Shalāt Dan Waktu Shalāt Fardhu
➖➖➖➖➖➖➖

بسمــ اللّه الرحمنــ الرحيمـ‍ـ 
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد

Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Pada halaqah yang ke-30 ini kita akan memasuki pembahasan di dalam Fiqh Shalāt dalam Kitāb Matan Abū Syujā'.

قال المصنف:
((كتاب الصلاة))

((Pembahasan Shalāt))

■ Shalāt secara bahasa adalah اَلدُّعَاءُ (do'a). Firman Allāh Ta'āla:

وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ 

"Dan do'akanlah mereka. (Karena) Sesungguhnyaoleh do'amu membuat mereka tenang." (At-Taubah 103)

Kemudian dalam hadīts yang diriwayatkan  Imām Muslim:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ, فإن كان صائما فليصل 

"Apabila salah seorang dari kalian diundang (maksudnya diundang makan) maka datangilah. Apabila dia berpuasa do'akanlah."

Di dalam kamus, makna shalāt, selain juga dia maknanya adalah do'a, ada makna yang lain yaitu:
• rahmah
• istighfar (mohon ampun)
• ujian Allāh kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam
Maka ini tergantung kepada konteks dari kalimat yang ada pada kalimat shalāt (maknanya sesuai  konteks kalimatnya).

■ Shalāt secara istilah adalah:

أقوال وأفعال مخصوصة مفتتحة بالتكبير ومختتمة بالتسليم

"Perkataan dan perbuatan yang khusus (yang sudah diatur tata caranya di dalam syari'at), yang dibuka dengan takbir dan ditutup dengan salam."

Kemudian disini, Mushannif memulai pembahasan  pertama yaitu tentang waktu shalat.

قال المصنف:
((الصلاة المفروضة خمس))  

((Shalāt yang wajib ada 5 waktu))

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا

"Sesungguhnya waktu-waktu shalāt itu sudah ditetapkan bagi orang-orang yang beriman." (An-Nisā 103)

Di dalam hadīts Isrā dan Mi'rāj yang cukup panjang, disana dijelaskan tatkala Rasūlullāh shallallāhu ' wa sallam Isrā dan Mi'rāj, Beliau berkata :

فَفَرَضَ اللّه عَلَى أُمَّتِيْ خَمْسِينَ صَلَاةً 

"Maka Allāh Subhānahu wa Ta'āla mewajibkan shalāt atas umatku 50 waktu shalāt."

Kemudian sampai pada sabda Beliau:

فَرَاجَعْتُهُ فَقَالَ هِيَ خَمْسٌ وَهِيَ خَمْسُونَ لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ

Tatkala Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam meminta keringanan kepada Allāh sampai Allāh Subhānahu wa Ta'āla mengubah dari 50 waktu shalāt menjadi 5 waktu shalāt.

Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pun masih kembali untuk meminta keringanan. Maka kata Beliau فَرَاجَعْتُهُ (Maka sayapun kembali kepada Allāh).

Maka Allāh Ta'āla berfirman:

هِيَ خَمْسٌ وَهِيَ خَمْسُونَ لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ

"Dia adalah 5 waktu shalāt akan tetapi pahalanya sama dengan 50 waktu shalāt. Keputusan tersebut tidak berubah lagi di sisiKu."
(HR Bukhāri dan Muslim)

Kemudian disini Penulis memulai dari penjelasan waktu shalāt Zhuhur.

قال المصنف:
((الظهر وأول وقتها زوال وقتها زوال الشمس وآخره إذا صار ظل كل شيء مثله بعد الزوال))

((Shalāt Zhuhur awal waktunya adalah tatkala tergelincirnya matahari dan batas akhirnya adalah tatkala panjang bayangan sama seperti aslinya-setelah tergelincir matahari))

Dalilnya adalah salah satu hadīts yang menjadi pegangan didalam waktu-waktu shalāt.

Hadīts dari Abū Mūsā -Asy'ariy yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menjelaskan tentang waktu-waktu shalāt secara keseluruhan.

وَعَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّهُ أَتَاهُ سَائِلٌ يَسْأَلُهُ عَنْ مَوَاقِيت الصَّلَاةِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ شَيْئًا

Dari Abū Mūsā Al-Asy'ari dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. Bahwasanya datang seseorang yang bertanya kepada Beliau tentang waktu-waktu shalāt, namun Beliau tidak menjawab sedikitpun.

قَالَ فَأَقَامَ الْفَجْرَ حِينَ انْشَقَّ الْفَجْرُ وَالنَّاسُ لَا يَكَادُونَ يَعْرِفُ بَعْضُهُمْ بَعْض

Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pun keesokan harinya menunaikan shalāt Fajr manakala cahaya Fajr terbelah (manakala datang waktu Fajr). Dan masing-masing orang pada waktu itu tidak mengetahui satu sama yang lain karena masih gelap.

Karena pada saat itu tidak ada lampu dan juga di sini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ingin menjawab pertanyaan orang tersebut tentang waktu-waktu shalāt dengan praktek.

ثم أمره فاقام بالظهر حين زَالَتْ الشَّمْسُ وَالْقَائِلُ يَقُولُ قَدْ انْتَصَفَ النَّهَارُ وَهُوَ كَانَ أَعْلَمَ مِنْهُمْ

Kemudian, Beliau pun memerintahkan dan melaksanakan shalāt Zhuhur pada saat matahari mulai tergelincir. Dan orang yang berkata, dia mengatakan bahwasanya hari sudah pertengahan (tengah hari) dan dia orang yang paling mengetahui waktu di antara mereka.

ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ بِالْعَصْرِ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ

Kemudian Beliaupun memerintahkannya untuk menegakkan shalāt Ashar. Dan Beliau melaksanakan shalāt Ashar sementara matahari masih tinggi.

ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ بِالْمَغْرِبِ حِينَ وَقَعَتْ الشَّمْس

Kemudian Beliau memerintahkannya dan menunaikan shalāt Maghrib pada saat matahari mulai jatuh (mulai tenggelam).

ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ

Kemudian Beliaupun memerintahkan dan menunaikan shalāt 'Isyā pada saat syafaq telah hilang (syafaq adalah warna kemerahan yang ada di langit).

ثُمَّ أَخَّرَ الْفَجْرَ مِنْ الْغَدِ حَتَّى انْصَرَفَ مِنْهَا وَالْقَائِلُ يَقُولُ قَدْ طَلَعَتْ الشَّمْسُ أَوْ كَادَتْ

Kemudian Beliau pada keesokan harinya mengakhirkan shalāt Fajr dan manakala Beliau meninggalkan mereka, seseorang berkata:

"Telah terbit matahari atau hampir terbit matahari."

ثُمَّ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى كَانَ قَرِيبًا مِنْ وَقْتِ الْعَصْرِ بِالْأَمْسِ

Kemudian Beliau mengakhirkan shalāt Zhuhur sampai waktu dekat dengan waktu 'Ashar yang dilakukan pada hari yang kemarin.

ثُمَّ أَخَّرَ الْعَصْرَ حَتَّى انْصَرَفَ مِنْهَا وَالْقَائِلُ يَقُولُ قَدْ احْمَرَّتْ الشَّمْس

Kemudian Beliau mengakhirkan waktu 'Ashar sampai tatkala Beliau meninggalkan mereka, orang-orangpun mengatakan (ada yang berkata):

"Matahari telah kemerahan-merahan."

ثُمَّ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى كَانَ عِنْدَ سقوطِ الشَّفقِ

Kemudian  mengakhirkan shalāt Maghrīb sampai syafaq mulai hilang.

ثم أخَّرَ العِشاءَ حتى كان ثُلُثُ اللَّيلِ الأوَّلُ

Kemudian Beliau mengakhirkan shalāt 'Isyā sampai akhir dari sepertiga malam yang pertama.

ثم أصبح فدَعَا السائلَ، فقال: الوقتُ بين هذَينِ

Kemudian Beliaupun keesokan harinya memanggil orang yang bertanya tadi maka Beliau bersabda bahwasanya waktu shalāt adalah antara 2 waktu tadi.

Inilah yang bisa kita sampaikan pada pertemuan kali ini. Dan in syā Allāh akan dilanjutkan dengan waktu-waktu shalāt dan beberapa catatan pada pertemuan berikutnya, biidznillāh.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
و آخر دعونا عن الحمد لله رب العالمين

🖋 Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------

Definisi Manhaj Salaf

☘ *MANHAJ SALAF*

DEFINISI SALAF, DEFINISI AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

PENGERTIAN ‘AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Definisi Salaf (السَّلَفُ)

Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( اَلسَّلَفُ ) artinya yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama.[1] Salaf berarti para pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.[2]

Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”[3]

Menurut al-Qalsyani:

“Salafush Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan menegak-kan agama-Nya…”[4]

Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al-‘Aqiidatul Islamiyyah bainas Salafiyyah wal Mu’tazilah:

“Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi Al-Qur-an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Ta-bi’in dan Tabi’ut Tabi’in.[5]

Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara bid’ah, akan tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang syar’i karena menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyuun karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Sahabat dan Tabi’ut Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka ini disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf. Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem hidup dalam ber-‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap Muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.[6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H)[7] berkata:

“Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” [8]

Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:

Mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.

As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk.[9]

Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan dicela.[10]

Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat 795 H):

“As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan As-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).”[11]

Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.[12]

Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah generasi pertama dari ummat ini, yaitu kalangan Sahabat, Tabi’ut Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran. [13]

Imam Abu Syammah asy-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 665 H) berkata:

"Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu:[14]

اَلْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ.

“Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.”[15]

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.

Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang mendapatkan per-tolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghurabaa’ (orang asing).

Tentang ath-Thaa-ifatul Manshuurah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda:

لاَتَزَالُ مِنْ أُمَّتِيْ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ.

“Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu menegakkan perintah Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolong mereka dan orang yang menyelisihi mereka sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.”[16]

Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْباً، وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْباً، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ.

“Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah bagi al-Ghurabaa’ (orang-orang asing).” [17]

Sedangkan makna al-Ghurabaa’ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu ketika suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang makna dari al-Ghurabaa’, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُنَاسٌ صَالِحُوْنَ فِيْ أُنَاسِ سُوْءٍ كَثِيْرٍ مَنْ يَعْصِيْهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيْعُهُمْ.

“Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka.”[18]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghurabaa’:

اَلَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ.

“Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia.”[19]

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

…الَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِي مِنْ سُنَّتِي.

“Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.”[20]

Ahlus Sunnah, ath-Tha-ifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus Sunnah, ath-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadits suatu hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti:

‘Abdullah Ibnul Mubarak: ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya, رحمهم الله[21].

Imam asy-Syafi’i [22] (wafat th. 204 H) rahimahullah berkata:

“Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha mereka.” [23]

Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H) rahimahullah menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah:

“Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah ahlul haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Sahabat Radhiyallahu anhum dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian ashhaabul hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat.”[24]

Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in.
‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma [25] berkata ketika menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla:

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

“Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.” [Ali ‘Imran: 106]

“Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah Ahlul Bid’ah dan sesat.”[26]
Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf رحمهم الله, di antaranya:

1. Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata: “Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku.”

2. Sufyan ats-Tsaury rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-ghurabaa’. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”[27]

3. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah [28] (wafat th. 187 H) berkata: “…Berkata Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan.”

4. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-Iimaan[29] : “…Maka sesungguhnya apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, bertambah dan berkurangnya iman dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian…”

5. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah [30] (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, As-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul ‘ilmi, ash-haabul atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, dari semenjak zaman para Sahabat Radhiyallahu anhumg hingga pada masa sekarang ini…”

6. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata: “…Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum Mukminin akan melihat Allah pada hari Kiamat, maka itu merupakan agama yang kami beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa penghuni Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[31]

7. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi rahimahullah (hidup th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang masyhur (al-‘Aqiidatuth Thahaawiyyah): “…Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal ummat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah agar ummat faham tentang ‘aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlul Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya.

Dan ini juga sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah pertama kali dipakai oleh golongan Asy’ariyyah, padahal Asy’ariyyah timbul pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah.[32]

Pada hakikatnya, Asy’ariyyah tidak dapat dinisbatkan kepada Ahlus Sunnah, karena beberapa perbedaan prinsip yang mendasar, di antaranya:

1. Golongan Asy’ariyyah menta’wil sifat-sifat Allah Ta’ala, sedangkan Ahlus Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti sifat istiwa’ , wajah, tangan, Al-Qur-an Kalamullah, dan lainnya.

2. Golongan Asy’ariyyah menyibukkan diri mereka dengan ilmu kalam, sedangkan ulama Ahlus Sunnah justru mencela ilmu kalam, sebagaimana penjelasan Imam asy-Syafi’i rahimahullah ketika mencela ilmu kalam.

3. Golongan Asy’ariyyah menolak kabar-kabar yang shahih tentang sifat-sifat Allah, mereka menolaknya dengan akal dan qiyas (analogi) mereka.[33]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lisaanul ‘Arab (VI/331) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) rahimahullah.
[2]. Lihat al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11) karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdurrahman al-Maghrawi, Muassasah ar-Risalah, th. 1420 H.
[3]. Muttafaq ‘alaih. HR. Al-Bukhari (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (212)), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu.
[4]. Al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11).
[5]. Al-Mufassiruun bainat Ta’-wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/13-14) dan al-Wajiiz fii ‘Aqiidah Salafush Shaalih (hal. 34).
[6]. Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa’ wal Bida’ (I/63-64) karya Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili, Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajis Salaf (hal. 21) karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah.
[7]. Beliau adalah Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdussalam bin ‘Abdillah bin Khidhir bin Muhammad bin ‘Ali bin ‘Abdillah bin Taimiyyah al-Harrani. Beliau lahir pada hari Senin, 14 Rabi’ul Awwal th. 661 H di Harran (daerah dekat Syiria). Beliau seorang ulama yang dalam ilmunya, luas pandangannya. Pembela Islam sejati dan mendapat julukan Syaikhul Islam karena hampir menguasai semua disiplin ilmu. Beliau termasuk Mujaddid abad ke-7 H dan hafal Al-Qur-an sejak masih kecil. Beliau mempunyai murid-murid yang ‘alim dan masyhur, antara lain: Syamsuddin bin ‘Abdul Hadi (wafat th. 744 H), Syamsuddin adz-Dzahabi (wafat th. 748 H), Syamsuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat th. 751 H), Syamsuddin Ibnu Muflih (wafat th. 763 H) serta ‘Imaduddin Ibnu Katsir (wafat th. 774 H), penulis kitab tafsir yang terkenal, Tafsiir Ibnu Katsiir.
‘Aqidah Syaikhul Islam adalah ‘aqidah Salaf, beliau rahimahullah seorang Mujaddid yang berjuang untuk menegakkan kebenaran, berjuang untuk menegakkan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum tetapi ahlul bid’ah dengki kepada beliau, sehingga banyak yang menuduh dan memfitnah. Beliau menjelaskan yang haq tetapi ahli bid’ah tidak senang dengan dakwahnya sehingga beliau diadukan kepada penguasa pada waktu itu, akhirnya beliau beberapa kali dipenjara sampai wafat pun di penjara (tahun 728 H). Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, mencurahkan rahmat yang sangat luas dan memasukkan beliau rahimahullah dalam Surga-Nya. (Al-Bidayah wan Nihayah XIII/255, XIV/38, 141-145).
[8]. Majmu’ Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (IV/149).
[9]. Lisaanul ‘Arab (VI/399).
[10]. Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah (hal. 16).
[11]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (hal. 495) oleh Ibnu Rajab, tahqiq dan ta’liq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, cet. II-Daar Ibnul Jauzy-th. 1420 H.
[12]. Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah.
[13]. Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 61) oleh Khalil Hirras.
[14]. Beliau adalah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, nama lengkapnya ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al-Hadzali, Abu ‘Abdirrahman, pimpinan Bani Zahrah. Beliau masuk Islam pada awal-awal Islam di Makkah, yaitu ketika Sa’id bin Zaid dan isterinya -Fathimah bintu al-Khaththab- masuk Islam. Beliau melakukan dua kali hijrah, mengalami shalat di dua Kiblat, ikut serta dalam perang Badar dan perang lainnya. Beliau termasuk orang yang paling ‘alim tentang Al-Qur-an dan tafsirnya sebagaimana telah diakui oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau dikirim oleh ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu ke Kufah untuk mengajar kaum Muslimin dan diutus oleh ‘Utsman Radhiyallahu anhu ke Madinah. Beliau Radhiyallahu anhu wafat tahun 32 H. Lihat al-Ishaabah (II/368 no. 4954).
[15]. Al-Baa’its ‘alaa Inkaaril Bida’ wal Hawaadits hal. 91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman dan Syarah Ushuulil I’tiqaad karya al-Lalika-i (no. 160).
[16]. HR. Al-Bukhari (no. 3641) dan Muslim (no. 1037 (174)), dari Mu’awiyah Radhiyallahu anhu.
[17]. HR. Muslim (no. 145) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[18]. HR. Ahmad (II/177, 222), Ibnu Wadhdhah no. 168. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad (VI/207 no. 6650). Lihat juga Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajas Salaf hal. 125.
[19]. HR. Abu Ja’far ath-Thahawi dalam Syarah Musykilil Aatsaar (II/170 no. 689), al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah (no. 173) dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah a. Hadits ini shahih li ghairihi karena ada beberapa syawahidnya. Lihat Syarah Musykilil Aatsaar (II/170-171) dan Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1273).
[20]. HR. At-Tirmidzi (no. 2630), beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari Sahabat ‘Amr bin ‘Auf Radhiyallahu anhu
[21]. Sunan at-Tirmidzi: Kitaabul Fitan no. 2229. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany rahimahullah (I/539 no. 270) dan Ahlul Hadiits Humuth Thaa-ifah al-Manshuurah karya Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali.
[22]. Lihat kembali biografi beliau pada catatan kaki no. 14.
[23]. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (X/60).
[24]. Al-Fishal fil Milal wal Ahwaa’ wan Nihal (II/271), Daarul Jiil, Beirut.
[25]. Beliau adalah seorang Sahabat yang mulia dan termasuk orang pilihan. Nama lengkapnya adalah ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib al-Hasyimi al-Qurasyi, anak paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, penafsir Al-Qur-an dan pemuka kaum Muslimin di bidang tafsir. Dia diberi gelar ulama dan lautan ilmu, karena luas keilmuannya dalam bidang tafsir, bahasa dan syair Arab. Beliau dipanggil oleh para Khulafaur Rasyidin untuk dimintai nasehat dan pertimbangan dalam berbagai perkara. Beliau Radhiyallahu anhuma pernah menjadi gubernur pada zaman ‘Utsman a tahun 35 H, ikut memerangi kaum Khawarij bersama ‘Ali, cerdas dan kuat hujjahnya. Menjadi ‘Amir di Bashrah, kemudian tinggal di Thaif hingga meninggal dunia tahun 68 H. Beliau lahir tiga tahun sebelum hijrah. Lihat al-Ishaabah (II/330, no. 4781).
[26]. Lihat Tafsiir Ibni Katsiir (I/419, cet. Darus Salam), Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (I/79 no. 74).
[27]. Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (I/71 no. 49 dan 50).
[28]. Beliau adalah Fudhail bin ‘Iyadh bin Mas’ud at-Tamimi rahimahullah, seorang yang terkenal zuhud, berasal dari Khurasan dan bermukim di Makkah, tsiqah, wara’, ‘alim, diambil riwayatnya oleh al-Bukhari dan Muslim. Lihat Taqriibut Tahdziib (II/15, no. 5448), Tahdziibut Tahdziib (VII/264, no. 540) dan Siyar A’laamin Nu-balaa’ (VIII/421).
[29]. Tahqiq dan takhrij Syaikh al-Albani rahimahullah.
[30]. Beliau rahimahullah adalah seorang Imam yang luar biasa dalam kecerdasan, kemuliaan, keimaman, kewara’an, kezuhudan, hafalan, alim dan faqih. Nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad asy-Syaibani, lahir pada tahun 164 H. Seorang Muhaddits utama Ahlus Sunnah. Pada masa al-Ma’mun beliau dipaksa mengatakan bahwa Al-Qur-an adalah makhluk, sehinga beliau dipukul dan dipenjara, namun beliau menolak mengatakannya. Beliau tetap mengatakan Al-Qur-an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Beliau wafat di Baghdad. Beliau menulis beberapa kitab dan yang paling terkenal adalah al-Musnad fil Hadiits (Musnad Imam Ahmad). Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (XI/177 no. 78).
[31]. Lihat kitab Shariihus Sunnah oleh Imam ath-Thabary rahimahullah.
[32]. Lihat kitab Wasathiyyah Ahlis Sunnah bainal Firaq karya Dr. Muhammad Baa Karim Muhammad Baa ‘Abdullah (hal. 41-44).
[33]. Lihat pembahasan tentang berbagai perbedaan pokok antara Ahlus Sunnah dengan Asy’ariyyah dalam kitab Manhaj Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah wa Manhajil Asyaa’irah fii Tamhiidillaahi Ta’aalaa oleh Khalid bin ‘Abdil Lathif bin Muhammad Nur dalam 2 jilid, cet. I/ Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyyah, th. 1416 H.

Apr 19, 2018

Doa ketika Barang Hilang


Doa ketika Barang Hilang
By Ustadz Ammi Nur Baits

Tanya:

Ada orang yang kehilangan barang berharga, sepeda motor. Adakah amalan untuk mengembalikan barang hilang? Atau doa khusus untuk mengembalikan barang hilang? Trim’s

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Pertama, kami ingatkan bahwa tidak ada yang sia-sia dalam hidup seorang mukmin. Semua kondisi perasaan yang dia alami, bisa berpeluang menjadi sumber pahala baginya.

عجبا لأمر المؤمن إن أمره كله خير وليس ذاك لأحد إلا للمؤمن إن أصابته سراء شكر فكان خيرا له وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرا له

“Sungguh mengagumkan keadaan orang Mukmin. Sesungguhnya semua urusannya baik, dan karakter itu tidak dimiliki oleh siapapun kecuali orang Mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, dan demikian itu lebih baik baginya. Jika ditimpa kesusahan, dia akan bersabar, dan demikian itu lebih baik baginya.” (HR. Muslim, al Baihaqi dan Ahmad)

Cara paling mujarab untuk mengendalikan hati ketika mendapat musibah adalah kita meyakini bahwa setiap detik musibah, resah, atau sedih yang kita alami, semuanya akan membuahkan pahala, selama kita siap bersabar.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari 5641)

Dengan semangat ini, bahkan bisa jadi kita akan menjadi hamba yang bersyukur ketika mendapat musibah.

Kedua, kami tidak menjumpai satu amalan atau doa khusus dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seseorang kehilangan barang. Hanya saja, terdapat riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dimana beliau mengajarkan doa ketika kehilangan barang. Dari Umar bin Katsir, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau menjelaskan amalan ketika kehilangan barang,

يتوضأ ويصلي ركعتين ويتشهد ويقول: «يا هادي الضال، وراد الضالة اردد علي ضالتي بعزتك وسلطانك فإنها من عطائك وفضلك»

”Dia berwudhu, kemudian shalat 2 rakaat, setelah salam lalu mengucapkan syahadat, kemudian berdoa,

يَا هَادِيَ الضَّال، وَرَادَّ الضَّالَة ارْدُدْ عَلَيَّ ضَالَتِي بِعِزَّتِكَ وَسُلْطَانِكَ فَإِنَّهاَ مِنْ عَطَائِكَ وَفَضْلِكَ

Ya Allah, Dzat yang melimpahkan hidayah bagi orang yang sesat, yang mengembalikan barang yang hilang. Kembalikanlah barangku yang hilang dengan kuasa dan kekuasaan-Mu. Sesungguhnya barang itu adalah bagian dari anugrah dan pemberian-Mu’.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf no. 29720, al-Baihaqi dalam ad-Da’awat al-Kabir (2/54). Baihaqi mengatakan,

هذا موقوف وهو حسن

Ini adalah hadits mauquf [perkataan shahabat] dan hadits ini statusnya adalah hasan”

Demikian pula dinyatakan oleh Abdurrahman bin Hasan, bahwa perawi untuk riwayat Baihaqi adalah perawi yang tsiqqah (terpercaya). (Tahqiq al-Wabil as-Shayib, Abdurrahman bin Hasan dibawah bimbingan Dr. Bakr Abu Zaid)

Allahu a’lam

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

Apr 6, 2018

Etika Orang Beriman: Ucapan yang Baik, Memuliakan Tetangga dan Menghormati Tamu

ETIKA ORANG BERIMAN : UCAPAN YANG BAIK, MEMULIAKAN TETANGGA, DAN MENGHORMATI TAMU

Hadist Memuliakan Tetangga Hadits Tentang Menghormati Tetangga Etika Orang Beriman Menghormati Tetangga Hadist Menghormati Tetangga

ETIKA ORANG BERIMAN : UCAPAN YANG BAIK, MEMULIAKAN TETANGGA DAN MENGHORMATI TAMU

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (( مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 6018, 6136, 6475), Muslim (no. 47), Ahmad (II/267, 433, 463), Abu Dawud (no. 5154), at-Tirmidzi (no. 2500), Ibnu Hibban (no. 507, 517-at-Ta’lîqâtul-Hisân), al-Baihaqi (VIII/164).

SYARAH HADITS
1. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia mengerjakan ini dan itu”.

Menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut adalah perkara iman. Sebagaimana yang telah jelas bahwa amal perbuatan termasuk dari iman.

Perbuatan-perbuatan iman terkadang terkait dengan hak-hak Allah, seperti mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Dan termasuk dalam cakupan perbuatan-perbuatan iman, ialah berkata yang baik atau diam dari selainnya. Perbuatan-perbuatan iman juga terkadang terkait dengan hak-hak hamba Allah, misalnya memuliakan tamu, memuliakan tetangga, dan tidak menyakitinya. Ketiga hal itu diperintahkan kepada seorang mukmin, salah satunya dengan mengucapkan perkataan yang baik dan diam dari perkataan yang jelek.[1]

Dalam Shahîhain dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْـمَشْرِقِ وَالْـمَغْرِبِ.

Sesungguhnya seseorang mengucapkan kata-kata yang tidak ia teliti kebenarannya, ucapannya itu menyebabkannya tergelincir di neraka lebih jauh dari pada jauhnya antara timur dan barat.[2]

Dalam Shahîh al-Bukhâri disebutkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ.

Sesungguhnya seseorang mengatakan satu kalimat yang diridhai Allah dan ia tidak menaruh perhatian terhadapnya, melainkan Allah akan mengangkatnya beberapa derajat. Sesungguhnya seorang hamba mengatakan kalimat yang dimurkai Allah dan ia tidak menaruh perhatian terhadapnya melainkan ia terjerumus dengan sebab kalimat itu ke Jahannam.[3]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إِنَّ أَكْثَرَ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فِيْ لِسَانِهِ.

Sesungguhnya kesalahan anak Adam yang paling banyak terletak pada lisannya.[4]

2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Hendaklah ia berkata baik atau diam”.
Adalah perintah untuk berkata baik dan diam dari perkataan yang tidak baik atau sia-sia. Jadi, adakalanya perkataan itu baik sehingga diperintahkan diucapkan. Dan adakalanya perkataan itu tidak baik dan sia-sia, sehingga diperintahkan untuk diam darinya. Allah Ta’ala berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). [Qaf/50:18].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَلاَ يَبْصُقْ أَمَامَهُ فَإِنَّمَا يُنَاجِى اللهَ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ ، وَلَا عَنْ يَمِيْنِهِ فَإِنَّ عَنْ يَمِيْنِهِ مَلَكًا ، وَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ ، أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ ، فَيَدْفِنُهَا.

Jika salah seorang dari kalian berdiri shalat, maka janganlah ia meludah di depannya karena sesungguhnya ia sedang bermunajat kepada Rabb-nya selama ia berada di tempat shalatnya; jangan pula ke sebelah kanannya karena di sebelah kanannya ada seorang malaikat; tetapi hendaklah ia meludah ke sebelah kiri atau ke bawah kakinya, dan hendaklah ia mengubur ludahnya itu.[5]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لَا يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلَّا قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ ، وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةٌ.

Tidaklah satu kaum berdiri dari satu majelis, mereka tidak mengingat (berdzikir) kepada Allah di dalamnya, melainkan mereka seperti berdiri dari bangkai keledai dan mereka mendapatkan kesedihan.[6]

Dari sini dapat diketahui bahwa perkataan yang tidak baik hendaknya tidak diucapkan, lebih baik diam, kecuali jika sangat dibutuhkan. Sebab, banyak berbicara yang tidak bermanfaat membuat hati menjadi keras.

‘Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barang siapa banyak bicara, banyak pula kesalahannya; barang siapa banyak kesalahannya, banyak pula dosanya; dan barang siapa banyak dosanya, maka nerakalah yang lebih layak baginya”.[7]

Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu pernah memegang lidahnya lalu berkata: “Lidah inilah yang membuatku berada di tempat-tempat yang membinasakan”.[8]

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, tidak ada sesuatu pun yang lebih berhak di penjara dengan lama daripada lisan.”[9]

Alangkah indahnya apa yang dikatakan ‘Ubaidullah bin Abi Ja’far, seorang faqih penduduk Mesir pada zamannya, ia termasuk salah seorang ahli hikmah, beliau berkata: “Apabila seseorang berbicara di suatu majlis lalu perkataannya membuatnya takjub, maka hendaklah ia diam. Dan apabila ia diam lalu diam itu membuatnya takjub, hendaklah ia berbicara”.[10]

Kesimpulannya, selalu diam secara mutlak, atau menganggap diam sebagai bentuk taqarrub di sebagaian ibadah seperti haji, i’tikaf, dan puasa adalah dilarang.[11]

3. Di antara perkara yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepada kaum mukminin dalam hadits ini, ialah memuliakan tetangga.
Dalam sebagian riwayat terdapat larangan menyakiti tetangga karena menyakiti tetangga hukumnya haram. Sebab, menyakiti tanpa alasan yang benar itu diharamkan atas setiap orang. Tetapi dalam hak tetangga perbuatan menyakiti itu lebih berat keharamannya.

Dalam Shahîhain dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau ditanya: “Dosa apakah yang paling besar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dia-lah yang menciptakanmu,” ditanyakan lagi: “Kemudian apa?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Engkau membunuh anakmu karena takut ia makan bersamamu,” ditanyakan lagi, “Kemudian apa?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Engkau berzina dengan istri tetanggamu”.[12]

Dalam Shahîh al-Bukhâri, dari Abu Syuraih Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ : الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ.

“Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman,” ditanyakan, “Wahai Rasulullah, siapa dia?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya”[13].

Adapun memuliakan tetangga dan berbuat baik kepadanya adalah diperintahkan. Allah Ta’ala berfirman:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

Beribadahlah kepada Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri. [an-Nisâ`/4:36].

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menggabungkan hak-Nya atas manusia dan hak-hak manusia terhadap manusia. Dan Allah menyebutkan orang-orang yang harus disikapi dengan baik. Mereka ada lima kelompok.

Pertama. Orang yang masih dalam hubungan kekerabatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan orang tua secara khusus di antara mereka, karena keduanya memiliki keistimewaan atas seluruh sanak kerabat, dan tidak ada satu pun dari mereka yang mempunyai keistimewaan tersebut bersama keduanya, karena keduanya menjadi sebab keberadaan anak, mempunyai hak mendidik, mengasuhnya, dan lain-lain.

Kedua. Orang lemah yang membutuhkan kebaikan. Ini terbagi dua, yaitu: orang yang membutuhkan karena kelemahan badannya, seperti anak-anak yatim; dan orang yang membutuhkan karena sedikitnya harta, yaitu orang-orang miskin.

Ketiga. Orang yang memiliki hak kedekatan dan pergaulan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya menjadi tiga kelompok, yaitu tetangga dekat, tetangga jauh, dan teman sejawat.

Dalam Shahîh al-Bukhâri, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma , ia berkata: “Aku berkata, ‘Wahai, Rasulullah! Sesungguhnya aku memiliki dua orang tetangga. Kepada siapakah aku memberikan hadiah?’ Beliau menjawab, ‘Kepada tetangga yang paling dekat pintunya denganmu’.”[13]

Adapun teman sejawat, maka sebagian ulama menafsirkannnya dengan istri. Sebagian lagi -di antaranya Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma – menafsirkannya dengan teman dalam safar. Mereka tidak ingin mengeluarkan teman sejawat di tempat mukim dari makna berkawan/persahabatan, namun persahabatan dalam safar itu sudah cukup sebagai persahabatan. Jika demikian, tentu persahabatan terus-menerus di tempat mukim itu lebih utama.

Oleh karena itulah, Sa’id bin Jubair berkata: “Ia adalah teman yang shâlih”. Zaid bin Aslam berkata: “Ia adalah teman dudukmu ketika mukim dan temanmu ketika safar”.

Dalam Musnad Imam Ahmad dan Sunan at-Tirmidzi, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

خَيْرُ اْلأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ ، وَخَيْرُ الْـجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِـجَارِهِ.

Sebaik-baik teman di sisi Allah ialah yang paling baik kepada temannya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah tetangga yang paling baik kepada tetangganya.[15]

Keempat. Orang yang datang kepada seseorang dan tidak menetap bersamanya, yaitu ibnu sabil. Ia adalah musafir apabila singgah di suatu negeri.
Ada ulama yang menafsirkannya dengan tamu. Maksudnya, jika musafir singgah sebagai tamu pada seseorang.

Kelima. Hamba sahaya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamsering kali mewasiatkan kaum muslimin agar berbuat baik kepada mereka. Diriwayatkan bahwa wasiat terakhir beliau ketika kematian menjemput ialah, “Shalat dan berbuat baik kepada hamba sahaya yang kalian miliki.”[16]

Sebagian ulama Salaf memasukkan ke dalam ayat ini apa saja yang dimiliki manusia berupa hewan ternak.

Kemudian dalam ash-Shahîhain, dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْـجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ.

Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku tentang tetangga, sehingga aku mengira bahwa tetangga akan mewarisi.[17]

Di antara bentuk berbuat baik kepada tetangga, ialah memberikan keluasan dan kemudahan ketika ia butuh. Dari Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: Kekasihku (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) berwasiat kepadaku:

إِذَا طَبَخْتَ مَرَقًا فَأَكْثِرْ مَاءَهُ ، ثُمَّ انْظُرْ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيْرَانِكَ فَأَصِبْهُمْ مِنْهَا بِمَعْرُوْفٍ.

“Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya, kemudian lihatlah keluarga tetanggamu, berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan baik”.

Dalam riwayat lain disebutkan:

يَا أَبَا ذَرٍّ! إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ.

“Wahai, Abu Dzarr! Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya dan berikan sebagiannya kepada tetangga-tetanggamu”.[18]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَا يَمْنَعْ جَارٌ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَةً فِيْ جِدَارِهِ.

Janganlah salah seorang dari kalian melarang tetangganya menancapkan kayu di temboknya.

Setelah itu, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Mengapa kalian, aku lihat kalian berpaling dari nasihat tersebut? Demi Allah, aku pasti melemparkan kayu-kayu tersebut ke pundak-pundak kalian”.[19]

Pendapat Imam Ahmad rahimahullah ialah, hendaklah seseorang mengizinkan tetangganya meletakkan kayu di temboknya jika dibutuhkannya, dan itu tidak merugikan orang berdasarkan hadits yang shahîh ini.

Zhahir perkataan Imam Ahmad rahimahullah ialah, seseorang wajib membantu tetangganya dengan kelebihan yang dimilikinya yang tidak merugikannya jika tetangganya membutuhkannya.[20]

Dijelaskan oleh para ulama bahwa tetangga itu ada tiga.
• Tetangga muslim yang memiliki hubungan kerabat, maka ia memiliki tiga hak, yaitu: hak tetangga, hak Islam, dan hak kekerabatan.
• Tetangga muslim, maka ia memiliki dua hak, yaitu: hak tetangga, dan hak Islam.
• Tetangga kafir, ia hanya memiliki satu hak, yaitu hak tetangga.[21]

Dan kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada tetangga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

لَيْسَ الْـمُؤْمِنُ الَّذيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إلَى جَنْبِهِ.

Tidak dikatakan seorang mukmin, seorang yang kenyang, sedangkan tetangga di sampingnya kelaparan.[22]

Al-Hasan berkata: “Bertetangga yang baik bukanlah menahan diri dari mengganggunya, tetapi bertetangga yang baik ialah bersabar terhadap gangguannya”.[23]

Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ada seorang wanita yang rajin shalat malam, puasa dan shadaqah, akan tetapi dia selalu mengganggu tetangganya dengan lisannya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka”. Kemudian disebutkan lagi, ada wanita yang melakukan shalat wajib lima waktu dan dia suka bershadaqah dengan keju dan tidak mengganggu seorang pun juga, maka Nabi bersabda: “Dia termasuk ahli surga”.[24]

4. Di antara perkara yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamperintahkan kepada kaum mukminin dalam hadits ini, ialah memuliakan tamu, yaitu menjamunya dengan baik.
Dari Abu Syuraih Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: Kedua mataku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan kedua telingaku mendengar ketika beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ. قَالَ : وَمَا جَائِزَتُهُ ، يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ ، وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ ، وَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ.

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya dengan memberikannya hadiah”. Sahabat bertanya, “Apa hadiahnya itu, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Menjamunya) sehari semalam. Jamuan untuk tamu ialah tiga hari, dan selebihnya adalah sedekah”.[25]

Muslim juga meriwayatkan hadits Abu Syuraih Radhiyallahu ‘anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

َالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ ، وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ ، وَ لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقِيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ. قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ يُؤْثِمُهُ ؟ قَالَ : يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَ لَا شَيْءَ لَهُ يَقْرِيْهِ بِهِ.

“Jamuan untuk tamu adalah tiga hari dan hadiah (untuk bekal perjalanan) untuk sehari semalam. Tidak halal bagi seorang muslim menetap di rumah saudaranya kemudian membuatnya berdosa”. Para sahabat bertanya: “Wahai, Rasulullah! Bagaimana ia membuatnya berdosa?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab: “Ia (tamu tersebut) menetap padanya, namun tuan rumah tidak mempunyai sesuatu untuk memuliakannya”.[26]

Dalam hadits-hadits di atas dijelaskan, bahwa jamuan bagi tamu ialah untuk bekal perjalanan sehari semalam dan jamuan ialah tiga hari. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara hadiah untuk tamu dan jamuan, bahkan terdapat riwayat yang menegaskan hadiah untuk tamu.

Dalam ash-Shahîhain, dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: “Wahai, Rasulullah! Sesungguhnya engkau mengirim kami, kemudian kami singgah di kaum yang tidak menjamu kami, bagaimana pendapatmu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami:

إِنْ نَزَلْتُمْ بِقَوْمٍ ، فَأَمَرُوْا لَكُمْ بِمَا يَنْبَغِي لِلضَّيْفِ ؛ فَاقْبَلُوْا ، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلُوْا ؛ فَخُذُوْا مِنْهُمْ حَقَّ الضَّيْفِ الَّذِيْ يَنْبَغِي لَهُمْ.

“Jika kalian singgah di salah satu kaum, lalu mereka memberikan untuk kalian apa yang layak diterima tamu, maka terimalah. Jika mereka tidak melakukannya, ambillah dari mereka hak tamu yang harus mereka berikan”.[27]

Nash-nash ini menunjukkan wajibnya menjamu tamu selama sehari semalam, ini adalah pendapat al-Laits dan Ahmad.

Imam Ahmad t berkata: “Tamu berhak menuntut jamuan, jika tuan rumah tidak memberikannya, karena jamuan adalah hak wajib baginya.”

Adapun dua hari lainnya bagi tamu, yaitu hari kedua dan ketiga, itu adalah puncak menjamu tamu. Setelah tiga hari, tuan rumah juga berhak menyuruh tamu pindah dari rumahnya, karena ia telah menunaikan kewajibannya. Hal tersebut dikerjakan Imam Ahmad.

Diriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa menjamu tamu itu wajib bagi orang muslim dan orang kafir. Banyak sekali sahabat-sahabat Imam Ahmad yang mengkhususkan kewajiban tersebut bagi orang muslim sebagaimana nafkah kerabat yang berbeda agama itu tidak diwajibkan menurut satu riwayat dari Imam Ahmad.

Dalam sebagian riwayat ada perkataan, “Tamu tidak halal tinggal di rumah tuan rumah, kemudian menyulitkannya”.

Sesungguhnya menjamu tamu tidak wajib, kecuali atas orang yang memiliki sesuatu untuk menjamu –ini pendapat sejumlah ulama hadits, di antaranya Humaid bin Zanjawaih- maka tamu tidak boleh meminta dijamu oleh orang yang tidak bisa menjamu.

Diriwayatkan dari hadits Salman Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata:

نَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَتَكَلَّفَ لِلضَّيْفِ مَا لَيْسَ عِنْدَنَا.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami membebani diri untuk tamu dengan sesuatu yang tidak kami miliki.[28]

Jika tuan rumah dilarang membebani diri untuk tamu dengan sesuatu yang tidak dimilikinya, maka ini menunjukkan bahwa tuan rumah tidak wajib membantu tamunya kecuali dengan sesuatu yang dimilikinya. Jika tuan rumah tidak memiliki sesuatu pun, ia tidak wajib memberi tamunya. Namun, jika tuan rumah mengutamakan tamunya daripada dirinya sendiri seperti yang dilakukan orang-orang Anshar, dimana ayat berikut diturunkan tentang mereka,

وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

“…Dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan….” – Hasyr/59 ayat 9-[29] maka itu hal yang baik dan mulia, tetapi tidak wajib.

Jika tamu mengetahui tuan rumah tidak menjamunya kecuali dengan makanannya dan makanan anak-anaknya, serta anak-anak menderita karenanya, maka tamu tidak boleh meminta dijamu tuan rumah tersebut sebagai bentuk pengamalan dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

… وَ لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ.

… Tidak halal seorang bertamu hingga menyulitkan tuan rumah.[30]

Selain itu, menjamu tamu adalah bentuk infaq yang wajib. Jadi, infak tersebut hanya diwajibkan kepada orang-orang yang makanan dirinya dan makanan orang-orang yang ditanggungnya lebih, seperti infak kepada sanak kerabat dan zakat fithri.

FAWÂ`ID HADITS
1. Iman adalah keyakinan dengan hati, ikrar dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan sebab perbuatan maksiat.
2. Amal masuk bagian dari iman.
3. Iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari Akhir adalah rukun iman yang penting, karena mengingatkan kita kepada Allah yang pertama menciptakan, dan mengingatkan kita bahwa kita akan kembali kepada Allah dan akan dihisab.
4. Anjuran untuk menjaga lisan.
5. Kesalahan anak Adam yang terbanyak pada lisannya.
6. Wajib diam kecuali untuk perkataan yang baik, sesuai dengan sabda Rasulullah: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam”.
7. Islam mengajak kepada setiap perbuatan yang mengandung cinta kasih dan kerukunan di tengah masyarakat.
8. Anjuran untuk berakhlak mulia dan menjauhi akhlak yang jelek.
9. Wajibnya menghormati tetangga, dan penghormatan tersebut kembali kepada kebiasaan masyarakat di sekitarnya.
10. Wajibnya memuliakan tamu, baik tamunya sedikit maupun banyak.
11. Anjuran untuk bergaul dengan baik terhadap sesama kaum muslimin.
12. Memuliakan tamu yang wajib itu selama sehari semalam.
13. Penafian iman yang dimaksud dalam hadits adalah penafian kesempurnaannya bukan pokok imannya.

Marâji`:
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
3. As-Sunanul Kubra lin-Nasâ`i.
4. Az-Zuhd, karya Imam Ahmad.
5. Az-Zuhd, karya Imam Ibnul Mubarak.
6. Irwâ`ul Ghalîl fî Takhrîji Ahâdîtsi Manâris-Sabîl.
7. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
8. Kitâbush-Shamt, karya Ibnu Abid Dunya.
9. Kutubus-Sab’ah.
10. Mustadrak ‘alash-Shahîhain.
11. Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
12. Qawâ’id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
13. Raudhatul-‘Uqalâ wa Nuzhatul-Fudhalâ, karya Ibnu Hibban al-Busti.
14. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
15. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
16. Sunan ad-Darimi.
17. Sunan al-Baihaqi.
18. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/Sya’ban 1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/333 )
[2]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6477), Muslim (no. 2988), Ibnu Hibban (no. 5677-at-Ta’lîqâtul-Hisân), dan al-Baihaqi (VIII/164).
[3]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6478) dan al-Baihaqi (VIII/165).
[4]. Hasan. HR Ibnu Abid Dunya dalam Kitâbush-Shamt (no. 18) dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul- Kabîr (no. 10446).
[5]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 416), ‘Abdurrazzaq (no. 1686), al-Baghawi (no. 490), dan Ibnu Hibban (no. 2266- at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Sahabat Abu Hurairah
[6]. Shahîh. HR Ahmad (II/494, 527), Abu Dawud (no. 4855), an-Nasâ`i dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah (no. 411), al-Hakim (I/492), dan Ibnu Hibban (no. 589- at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Sahabat Abu Hurairah.
[7]. Raudhatul ‘Uqalâ` wa Nuzhatul-Fudhalâ` (hlm. 43) karya Ibnu Hibban al-Busti.
[8]. Shahîh. Diriwayatkan oleh Abu Ya’ala (no. 5), Ibnu Abid Dunya dalam Kitâbush-Shamt (no. 13), Ibnus Sunni (no. 7), Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd (no. 353), Ahmad dalam az-Zuhd (no. 561), dan selainnya.
[9]. Shahîh. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Raudhatul-‘Uqalâ` (hlm. 46), Ibnu Abid Dunya dalam Kitâbush-Shamt (no. 16, 613), dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 8744-8747).
[10]. Kitâbush-Shamt (no. 97, 269).
[11]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/343).
[12]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 4477, 6001, 6811, 7520, 7532) dan Muslim (no. 86).
[13]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6016) dan Ahmad (II/288, 336).
[14]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2259, 2595, 6020).
[15]. Shahîh. HR al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad (no. 115), at-Tirmidzi (no. 1944), dan Ahmad (II/167-168).
[16]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/117), Ibnu Majah (no. 2697), dan Ibnu Hibban (no. 6571-at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Sahabat Anas bin Mâlik .
[17]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6014, 6015), Muslim (no. 2624, 2625), Ahmad (VI/52), Abu Dawud (no. 5151), at-Tirmidzi (no. 1942), Ibnu Majah (no. 3673), dan Ibnu Hibban (no. 512-at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Sahabat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[18]. Shahîh. HR. Muslim (no. 2625 (142, 143)), Ahmad (V/149), al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 113, 114), dan Ibnu Hibban (no. 514, 515-at-Ta’lîqâtul Hisân).
[19]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2463, 5627), Muslim (no. 1609), Ahmad (II/396), Abu Dawud (no. 3634), at-Tirmidzi (no. 1353), Ibnu Majah (no. 2335), dan Ibnu Hibban (no. 516-at-Ta’lîqâtul-Hisân).
[20]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/352)
[21]. Lihat Qawâ`id wa Fawâ`id (hal. 141).
[22]. Shahîh. HR al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad (no. 112), al-Hakim (IV/167), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 12741), dan al-Baihaqi (X/3) dari Sahabat Ibnu ‘Abbâs. Dishahîhkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi, dan Dishahîhkan juga oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 149).
[23]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/353).
[24]. Shahîh. HR al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad (no. 119), Ahmad (II/440), al-Hakim (IV/166), dan Ibnu Hibban (no. 2054- Mawâriduzh-Zham`ân) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 190).
[25]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6019) dan Muslim (no. 48).
[26]. Shahîh. HR Muslim (no. 48, Bab: adh-Dhiyâfah wa Nahwiha).
[27]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2461, 6137), Muslim (no. 1727), Ibnu Hibban (no. 5264-at-Ta’lîqâtul Hisân), dan al-Baihaqi (IX/197).
[28]. Shahîh. HR al-Bukhâri dalam at-Târikhul-Kabîr (II/386), Ahmad (V/441), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 6083, 6084, 6187), dan al-Hakim (IV/123).
[29]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 4889) dan Muslim (no. 2054) dari Sahabat Abu Hurairah.
[30]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6135), Muslim (no. 48), Ahmad (IV/31), Abu Dawud (no. 3748), at-Tirmidzi (no. 1968), dan Ibnu Majah (no. 3675) dari Sahabat Abu Syuraih al-Ka’bi.

Memulyakan Tetangga Materi Pai Berkata Baik, Hormati Tetangga Hadist Etika Memuliakan Tamu Dan Tetangga Menjaga Lisan Baik Dengan Tetangga Dan Tamu

29 Agustus 2012  editor  Bahasan : Hadits (1)  Leave a Comment
← Jangan Mudah Memutuskan Ini Halal Dan Itu HaramBersama Orang Tua Menuju Surga →
CATEGORY

ARCHIVES

META
Masuk
RSS Entri
RSS Komentar
WordPress.org
Almanhaj.or.id | ISDN | BisaQu | DLDKilat

93580 (tM 100%), 1574540 (jM), 4679 (jP), 1710 (urt), 20 (mR), InQueue, 2018-04-04 19:00:00 (Last Updated) Hadist Tentang Haramnya Musik, Hadits Ketenangan Hati, Badal Haji Untuk Orang Yang Sudah Meninggal, Do A Penangkal Santet, Contoh Hadits Dan Perawinya, Mengatasi Gatal Saat Nifas, Contoh Kafir, Macam Macam Aliran Dalam Islam, Kematian Imam Husein, Cara Mengatasi Sakit Payudara Saat Menyusui, Hukum Pengajian Sebelum Nikah, Kitab Lauhul Mahfuzh Adalah, Dalil Berwudhu Sebelum Tidur, Tentang Dosa, Koreksi Waktu Sholat Subuh, Menuju Keluarga Sakinah, Keistimewaan Al Ikhlas, Islam Akan Pecah Menjadi 73 Golongan, Definisi Ahlussunnah Wal Jamaah, Zikir Tingkat Tinggi

Sumber: https://almanhaj.or.id/3347-etika-orang-beriman-ucapan-yang-baik-memuliakan-tetangga-dan-menghormati-tamu.html